download versi doc
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG |
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin
meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana,
stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian
hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3567);
c. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah sehingga
rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan
Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan
di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali
unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat
(2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l,
dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni
huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a,
huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus,
dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n
sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga
obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya
yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan
tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau
Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha
milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian
dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan huruf
h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i sampai dengan
huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit
sebesar:
a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu
rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan
untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu
rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1); dan
d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan
untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Penjelasan
ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin
pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu
pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan
tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi
kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan
neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto
mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan
orang tuanya.
8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta
Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha
lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan
huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan
atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan ayat
(1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat
nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara
taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali
untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai
pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan
atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan
harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud Masa
Manfaat Tarif Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
50%
25%
12,5%
10%
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
20 tahun
10 tahun
5%
10%
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud
yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena
sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya
yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada
tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa
harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai
dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah
serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan,
hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa
manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat
asas.
(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali
untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Tak Berwujud Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
Garis
Lurus Saldo
Menurun
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4 4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun 25%
12,5%
6,25%
5% 50%
25%
12,5%
10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal
suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang
penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan
selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak
pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen)
setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa
buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan
jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada
tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa
harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7)
serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan
neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang
dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau
bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung
dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan
ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib
Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan
norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf g.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan
neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan
ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di antara ayat (2)
dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (2a) sampai dengan
ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) 15%
(lima belas persen)
di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
(tiga puluh persen)
b.
c. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25%
(dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan
saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari
dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri
atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang
tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat
(1).
14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan
ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4) disisipkan
4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan ayat (3e) sehingga
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen
oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha
di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara
pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan
Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara
lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian
(special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan
mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut
dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit
company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven
country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di
Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi
kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran
lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b),
ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai
dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1)
dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan
di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih
Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Dihapus.
15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian
kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian
antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan
harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri
Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat
(8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan
oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan
pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan
negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak
untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi
dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap
lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah
dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang
besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah
1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang;
b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang
lain; dan
c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli
atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya
pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c
diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah 1 (satu)
huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan
1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak
yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan
dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas
jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal
24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan,
sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan
dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat
badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar
atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak
gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha
tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat
harta tetap berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu
bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip
yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan
ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang
terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan
dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat
(7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara ayat
(8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a) sehingga
Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk
bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) Dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung
kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai
bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib
Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala;
dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling
tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang
bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 2010.
(9) Dihapus.
21. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf,
yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat (5) diubah,
di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya
menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia,
dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan
neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen),
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari
10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif
menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24. Pasal 31B dihapus.
25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam
negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi
kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20%
untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Dihapus.
26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31D
Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak
dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan
umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31E
(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan
Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32B
Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi
Negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian
perlakuan timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang
ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal II
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni
2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni
2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
0 komentar:
Posting Komentar
Buat mas dan mbak yang mampir dan download konten yang ada, jangan lupa kasih kasih komentarnya. U comment Ku Follow